Minggu, 15 Februari 2015

HUBUNGAN ANTARA AQIDAH DAN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A.    Pendahuluan
Dalam istilah Islam, kata yang menunjuk perilaku atau sikap fisik seseorang ada beberapa. Yang paling masyhur adalah “akhlak”, lalu ada pula “adab”, juga “suluk”. Akhlak biasanya diartikan perilaku, adab maknanya etika, sedangkan suluk sama dengan akhlak, namun istilah ini lebih banyak dipakai oleh kalangan sufi.[1]
Islam banyak membimbing umat manusia dengan berbagai amalan, dari amalan hati seperti aqidah, hingga amalan fisik seperti ibadah. Namun semua amalan itu, sesungguhnya merupakan sarana pembentuk kepribadian manusia beriman. Dengan kata lain sasaran utama dari seluruh perintah Allah di dunia ini adalah dalam rangka membentuk karakter manusia beriman agar bertutur kata, berfikir dan berperilaku yang Islami. Maka secara jelas Rasulullah mengatakan bahwa misi yang beliau emban dalam berjuang di dunia ini adalah membentuk akhlak mulia umatnya.[2]
Akidah atau keyakinan adalah suatu yang asasi dan prinsip bagi manusia, sama halnya dengan nilai dirinya sendiri, bahkan melebihinya. Hal itu terbukti bahwa orang rela mati untuk mempertahankan keyakinannya. Akidah lebih mahal daripada segala sesuatu yang dimiliki manusia. Demikianlah yang kita alami dan kita saksikan dari segenap lapisan masyarakat, baik yang masih primitive maupun yang sudah modern. Sesuatu yang terlanjur menjadi keyakinan sangan sulit untuk ditinggalkan begitu saja oleh penganutnya walaupun keyakinan tersebut dalam bentuk takhayyul atau khurafat sekalipun.[3]
Akidah atau keyakinan adalah sesuatu yang sangat penting. Keyakinan kepada Allah tentunya diikuti dengan akhlak yang baik. Manusia yang mengaku meyakini tentang ketauhidan  Allah, tentu juga akan melaksanakan ajaran-ajaran yang telah di tetapkan dalam Islam. Keyakinan kepada Allah harus diiringi dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan Allah yaitu dengan berbuat baik kepada Allah, manusia dan makhluk Allah yang lain.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengertian aqidah dan akhlak dalam pendidikan Islam ?
2.      Bagaimanakah hubungan antara aqidah dan akhlak dalam pendidikan Islam ?
C.     Pembahasan
1.      Pengertian aqidah dan akhlak dalam pendidikan Islam
Kata aqidah dalam bahasa Arab atau dalam bahasa Indonesia ditulis akidah menurut terminologi berarti ikatan, sangkutan. Disebut demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknis artinya adalah iman atau keyakinan. Akidah Islam (akidah Islamiyah), karena itu, ditautkan dengan rukun iman yang menjadi asa seluruh ajaran Islam. Kedudukannya sangat fundamental, karena menjadi asas sekaligus menjadi gantungan segala sesuatu dalam Islam.
Akidah Islam berawal dari keyakinan kepada zat mutlak yang maha esa yaitu Allah. Allah maha Esa dalam zat, sifat, perbuatan, dan wujudnya. Kemahaesaan Allah dalam dzat, sifat, perbuatan dan wujudnya itu disebut tauhid. Tauhid menjadi inti rukun iman. Rukun iman atau yang disebut pokok-pokok keyakina Islam merupakan seluruh ajaran Islam. Jumlahnya ada 6 yakni, keyakinan kepada Allah tuhan yang maha Esa, keyakinan kepada malaikat-malaikat, keyakinan kepada kitab-kitab suci, keyakinan kepada para nabi dan rasul-rasul Allah, keyakinan akan adanya hari akhir dan keyakinan kepada Qadha’ dan Qadar. [4]
Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan keraguan. Karena dalam keyakinan seseorang itu murni sebagai landasan atau dasar bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya. Seseorang yang mempunyai keyakinan yang kuat dalam hatinya maka seseorang tersebut sudah meyakini suatu kebenaran yaitu kebenaran akan Tuhannya (Allah SWT). Selain itu keyakinan tersebut akan mendatangkan ketentraman jiwa bagi seseorang. Seseorang tersebut akan semakin percaya dan yakin dalam memandang masa depan yang akan dilaluinya dengan rasa optimis dan selalu berfikir husnudzon pada segal;a sesuatu yang terjadi.
Sedangkan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa akhlaq bentuk jamak dari kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologi antara lain berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. Dalam kepustakaan, akhlak diartikan juga dengan sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik, mungkin buruk, seperti tersebut diatas.
Budi pekerti, perangai atau tingkah laku kita ketahui maknanya dalam percakapan sehari-hari. Baik budi pekerti maupun perangai dalam pelaksanaannya bisa berwujud tingkah lakupositif diantaranya adalah perangai atau tabiat yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, pemurah, rendah hati dan lain-lain sifat yang baik. Sedang yang termasuk akhlak atau budi pekerti negatif atau buruk adalah semua tingkah laku, tabiat, watak, perangai sombong, dendam, dengki, khianat dan lain-lain sifat yang buruk.
Didalam Ensiklopedi Islam I yang dikutip Mubasyarah, bahwa akhlak Islami adalah keadaan yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu perbuatan baru dapat disebut pencerminan akhlak jika memenuhi beberapa syarat antara lain:
a.       Dilakukan berulang-ulang, jika dilakukan sekali saja, tidak bisa disebut akhlak.
b.      Timbul dengan sendirinya, tanpa pikir-pikir atau ditimbang-timbang berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. Jika perbuatan diulang-ulang setelah dipikir-pikir atau ditimbang-timbang apalagi karena terpaksa, perbuatan itu bukanlah pencerminan akhlak. Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia dengan takwa merupakan “buah” pohon Islam yang berakarkan akidah, bercabang dan berdaun syari’ah. Pentingnya kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah (sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak” (Hadits Rawahu Ahmad); “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. Tirmidzi) dan, akhlak nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu, disebut akhlak Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat dalam al-Qur’an yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam. [5]
2.      Hubungan Antara Aqidah dan Akhlak dalam Pendidikan Islam
Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akhlak mendapatkan perhatian istimewa dalam akidah Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
3.      بُعِثْتُ ِلاُتَمِّمَ مَكاَرَمَ اْلاَخْلاَقِ
Artinya:  “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia
Dalam hadits lain, beliau bersabda: “Akhlak yang mulia adalah setengah dari agama”.
Salah seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Anugerah apakah yang paling utama yang diberikan kepada seorang muslim?” Beliau menjawab, “Akhlak yang mulia”.
Islam menggabungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama menganjurkan setiap indivvidu untuk berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban (taklif) di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak mengutarakan wejangan-wejangan akhlak semata tanpa dibebani oleh rasa tanggung jawab. Bahkan, agama menganggap sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama tersusun dari keyakinan (akidah) dan perilaku. Akhlak mencerminkan sisi perilaku tersebut.
Imam Baqir  as, berkata:
اِنَّ اَكْمَلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Artinya: “Mukminin yang paling sempurna imannya adalah yang paling mulia akhlaknya”.
Dengan bekal ilmu akhlak, orang dapat mengetahui batas mana yang baik dan batas mana yang dilarang juga dapat menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya. Orang yang berakhlak dapat memperoleh irsyad, taufik, dan hidayah sehingga dapat bahagia di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan hidup oleh setiap orang selalu didambakan kehadirannya di dalam lubuk hati. Hidup bahagia merupakan hidup sejahtera mendapat ridha Allah dan selalu disenangi oleh sesama makhluk.[6]
Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dari arah muka dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Akhlak yang mulia”. Kemudian, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kiri dan bertanya, “Apakah agama itu?” beliau menjawab, “Akhlak yang mulia”, lalu, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kanan dan bertanya, “Apakah agama itu?” Beliau menjawab, “Akhlak yang mulia”, jawab beliau untuk ketiga kalinya. Akhirnya, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah belakang dan bertanya, “Apakah agama itu?” Rasulullah SAW, menoleh kepadanya dan bersabda, “Apakah kau tidak memahami agama?” Agama adalah hendaknya engkau jangan suka marah”.
Oleh karena itu, akhlak dalam pandangan Islam harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup hanya disimpan dalam hati, namun harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik. Jadi, iman yang sempurna itu adalah iman yang dipraktikkan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa akhlak yang baik merupakan mata rantai dari keimanan seseorang. Sebagai contoh, seorang yang beriman akan merasa malu untuk melakukan kejahatan. Karena seperti ditegaskan oleh Nabi sendiri bahwa malu itu merupakan cabang dari keimanan. Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun akhlak tersebut kalau dilihat secara kasat mata kelihatan baik, jika titik tolaknya bukan karena iman, hal itu tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah, laksana fatamorgana di gurun pasir.[7]
Hubungan antara akidah dan akhlak ini tercermin dalam pernyataan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh dari Abu Hurairah ra.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, orang mukmin yang sempurna imannya ialah yang terbaik  budi pekertinya” (HR. At-Tirmdzi).
Al-Ghazali melukiskan betapa pentingnya kepribadian (akhlak) bagi seorang pendidik. Seorang guru mengamalkan ilmunya lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat dengan mata kepala padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.[8][3]
Statement Al-Ghazali tersebut dapat disimak bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seoarng pendidik adalah lebih penting dari pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Kepribadian seorang pendidik baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali sangat menganjurkan agar seorang pendidik mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan kepribadian sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan pada anak didiknya. Kualifikasi tugas guru dipandang sangat penting oleh sebab tugas guru bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat memperbaiki pendidikan yang sudah terlanjur salah diterima anak sekaligus mengadakan pendidikan ulang.[9]
Dalam kontek pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini kurang terkait terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai akhlak” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik untuk bergerak berbuat dan berperilaku secara kongkrit agamis dalm kehidupan praktis sehari-hari.
Konsep akhlak mencakup segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela semata-mata karena syara menilainya demikian. Kenapa sifat sabar, jujur, syukur, pemaaf dan pemurah misalnya dinilai baik? tidak lain karena syara menilai sifat-sifat itu baik. Begitu juga sebaliknya kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai buruk? tidak lain karena syara menilainya demikian.
Besar harapan seseorang yang mempelajari dasar-dasar ilmu akhlak akan menjadi baik sikapnya, seseorang menjadi anggota masyarakat yang berarti dan berjasa. Ilmu akhlak tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik dan berbudi luhur, namun mempelajari akhlak dapat membuka mata hati seseorang untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Guru hendaknya memberi pengertian apa faedahnya jika berbuat baik dan buruk, begitu pula memberi pengertian apa faedahnya jika berbuat jahat dan apa pula bahayanya jika berbuat kejahatan.
Pembelajaran akhlak sudah seharusnya mengandung makna tentang proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai moral dan akhlak dalam diri siswa. Pembelajaran akhlak sekolah dapat dilakukan dengan berbagai cara atau pendekatan baik melalui kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan ekstrakurikuler. Dalam proses pengembangan seseorang, individu dapat memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai akhlak melalui usaha internalisasi nilai-nilai yang dimiliki para pendidik. Disamping itu dapat pula melalui peningkatan kesadaran pada akhlak pribadi itu sendiri yang akhirnya kesadaran berakhlak dalam proses pembelajaran akan muncul pada dirinya.






D.    Kesimpulan
E.      



[1] Wahid Ahmadi. Risalah Akhlak Panduan Perilaku Muslim Modern. Era intermedia:solo. 2004. Hlm 17
[2] Ibid. Hal 29
[3] Syihab. Akidah Ahlussunnah. Bumi Aksara : Jakarta. 2004. Hlm. 1
[4] Mubasyaroh. Materi dan Pembelajaran Aqidah Akhlak. STAIN Kudus. Hlm. 3
[5] Ibid. Hlm. 24-26
[6] Yatim Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al Qur’an, Amzah : Jakarta, 2007,    hal. 20

[7] Hamzah Ja’cub, Etika Islam, Publicita : Jakarta, 1978, Hal. 16

[9] Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan Al Ghazali, Jakarta : Bumi Akasara, 1991, Hal. 55.