A.
Pendahuluan
Dalam istilah Islam, kata yang menunjuk perilaku atau sikap fisik
seseorang ada beberapa. Yang paling masyhur adalah “akhlak”, lalu ada pula
“adab”, juga “suluk”. Akhlak biasanya diartikan perilaku, adab maknanya etika,
sedangkan suluk sama dengan akhlak, namun istilah ini lebih banyak dipakai oleh
kalangan sufi.[1]
Islam banyak membimbing umat manusia dengan berbagai amalan, dari
amalan hati seperti aqidah, hingga amalan fisik seperti ibadah. Namun semua
amalan itu, sesungguhnya merupakan sarana pembentuk
kepribadian manusia beriman. Dengan kata lain sasaran utama dari seluruh
perintah Allah di dunia ini adalah dalam rangka membentuk karakter manusia
beriman agar bertutur kata, berfikir dan berperilaku yang Islami. Maka secara
jelas Rasulullah mengatakan bahwa misi yang beliau emban dalam berjuang di
dunia ini adalah membentuk akhlak mulia umatnya.[2]
Akidah atau keyakinan adalah suatu yang
asasi dan prinsip bagi manusia, sama halnya dengan nilai dirinya sendiri,
bahkan melebihinya. Hal itu terbukti bahwa orang rela mati untuk mempertahankan
keyakinannya. Akidah lebih mahal daripada segala sesuatu yang dimiliki manusia.
Demikianlah yang kita alami dan kita saksikan dari segenap lapisan masyarakat,
baik yang masih primitive maupun yang sudah modern. Sesuatu yang terlanjur
menjadi keyakinan sangan sulit untuk ditinggalkan begitu saja oleh penganutnya
walaupun keyakinan tersebut dalam bentuk takhayyul atau khurafat sekalipun.[3]
Akidah atau keyakinan adalah sesuatu yang
sangat penting. Keyakinan kepada Allah tentunya diikuti dengan akhlak yang
baik. Manusia yang mengaku meyakini tentang ketauhidan Allah, tentu juga akan melaksanakan
ajaran-ajaran yang telah di tetapkan dalam Islam. Keyakinan kepada Allah harus
diiringi dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan Allah yaitu dengan berbuat
baik kepada Allah, manusia dan makhluk Allah yang lain.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pengertian aqidah dan akhlak dalam pendidikan Islam ?
2.
Bagaimanakah hubungan antara aqidah dan akhlak dalam pendidikan
Islam ?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian aqidah dan akhlak dalam pendidikan Islam
Kata
aqidah dalam bahasa Arab atau dalam bahasa Indonesia ditulis akidah menurut
terminologi berarti ikatan, sangkutan. Disebut demikian karena ia
mengikat dan menjadi sangkutan atau gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian
teknis artinya adalah iman
atau keyakinan. Akidah Islam (akidah Islamiyah), karena itu, ditautkan dengan
rukun iman yang menjadi asa seluruh ajaran Islam. Kedudukannya sangat
fundamental, karena menjadi asas sekaligus menjadi gantungan segala sesuatu
dalam Islam.
Akidah Islam berawal dari keyakinan kepada zat mutlak
yang maha esa yaitu Allah. Allah maha Esa dalam zat, sifat, perbuatan, dan wujudnya.
Kemahaesaan Allah dalam dzat, sifat, perbuatan dan wujudnya itu disebut tauhid.
Tauhid menjadi inti rukun iman. Rukun iman atau yang disebut pokok-pokok
keyakina Islam merupakan seluruh ajaran Islam. Jumlahnya ada 6 yakni, keyakinan
kepada Allah tuhan yang maha Esa, keyakinan kepada malaikat-malaikat, keyakinan
kepada kitab-kitab suci, keyakinan kepada para nabi dan rasul-rasul Allah,
keyakinan akan adanya hari akhir dan keyakinan kepada Qadha’ dan Qadar. [4]
Keyakinan tidak boleh bercampur sedikitpun dengan
keraguan. Karena dalam keyakinan seseorang itu murni sebagai landasan atau
dasar bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya. Seseorang yang mempunyai
keyakinan yang kuat dalam hatinya maka seseorang tersebut sudah meyakini suatu
kebenaran yaitu kebenaran akan Tuhannya (Allah SWT). Selain itu keyakinan
tersebut akan mendatangkan ketentraman jiwa bagi seseorang. Seseorang tersebut
akan semakin percaya dan yakin dalam memandang masa depan yang akan dilaluinya
dengan rasa optimis dan selalu berfikir husnudzon pada segal;a sesuatu yang
terjadi.
Sedangkan
akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa akhlaq bentuk jamak dari kata
khuluq atau al-khulq, yang secara etimologi antara lain berarti budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at. Dalam kepustakaan, akhlak
diartikan juga dengan sikap yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku)
mungkin baik, mungkin buruk, seperti tersebut diatas.
Budi
pekerti, perangai atau tingkah laku kita ketahui maknanya dalam percakapan
sehari-hari. Baik budi pekerti maupun perangai dalam pelaksanaannya bisa
berwujud tingkah lakupositif diantaranya adalah perangai atau tabiat yang
sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, pemurah, rendah hati dan lain-lain sifat
yang baik. Sedang yang termasuk akhlak atau budi pekerti negatif atau buruk
adalah semua tingkah laku, tabiat, watak, perangai sombong, dendam, dengki,
khianat dan lain-lain sifat yang buruk.
Didalam
Ensiklopedi Islam I yang dikutip Mubasyarah, bahwa akhlak Islami adalah keadaan
yang melekat pada jiwa manusia. Karena itu perbuatan baru dapat disebut
pencerminan akhlak jika memenuhi beberapa syarat antara lain:
a.
Dilakukan berulang-ulang, jika dilakukan sekali saja, tidak bisa
disebut akhlak.
b.
Timbul dengan sendirinya, tanpa pikir-pikir atau ditimbang-timbang
berulang-ulang karena perbuatan itu telah menjadi kebiasaan baginya. Jika
perbuatan diulang-ulang setelah dipikir-pikir atau ditimbang-timbang apalagi
karena terpaksa, perbuatan itu bukanlah pencerminan akhlak. Akhlak menempati
posisi yang sangat penting dalam Islam. Ia dengan takwa merupakan “buah” pohon
Islam yang berakarkan akidah, bercabang dan berdaun syari’ah. Pentingnya
kedudukan akhlak, dapat dilihat dari berbagai sunnah qauliyah (sunnah dalam
bentuk perkataan) Rasulullah. Diantaranya adalah “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak” (Hadits Rawahu Ahmad); “Mukmin yang paling sempurna
imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya” (H.R. Tirmidzi) dan, akhlak
nabi Muhammad, yang diutus menyempurnakan akhlak manusia itu, disebut akhlak
Islam atau akhlak Islami, karena bersumber dari wahyu Allah yang kini terdapat
dalam al-Qur’an yang menjadi sumber utama agama dan ajaran Islam. [5]
2.
Hubungan Antara Aqidah dan Akhlak dalam Pendidikan Islam
Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan
kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai
akhlak yang luhur. Akhlak mendapatkan perhatian istimewa dalam akidah Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
3.
بُعِثْتُ ِلاُتَمِّمَ مَكاَرَمَ اْلاَخْلاَقِ
Artinya: “Aku
diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
Dalam hadits lain, beliau bersabda: “Akhlak yang mulia
adalah setengah dari agama”.
Salah seorang sahabat bertanya kepada beliau, “Anugerah
apakah yang paling utama yang diberikan kepada seorang muslim?” Beliau
menjawab, “Akhlak yang mulia”.
Islam menggabungkan antara agama yang hak dan akhlak.
Menurut teori ini, agama menganjurkan setiap indivvidu untuk berakhlak mulia
dan menjadikannya sebagai kewajiban (taklif) di atas pundaknya yang
dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak
mengutarakan wejangan-wejangan akhlak semata tanpa dibebani oleh rasa tanggung
jawab. Bahkan, agama menganggap sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena
agama tersusun dari keyakinan (akidah) dan perilaku. Akhlak mencerminkan sisi
perilaku tersebut.
Imam Baqir as,
berkata:
اِنَّ
اَكْمَلَ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Artinya: “Mukminin yang paling sempurna imannya adalah
yang paling mulia akhlaknya”.
Dengan bekal ilmu akhlak, orang dapat mengetahui batas mana
yang baik dan batas mana yang dilarang juga dapat menempatkan sesuatu sesuai
dengan tempatnya. Orang yang berakhlak dapat memperoleh irsyad, taufik, dan
hidayah sehingga dapat bahagia di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan hidup oleh setiap
orang selalu didambakan kehadirannya di dalam lubuk hati. Hidup bahagia
merupakan hidup sejahtera mendapat ridha Allah dan selalu disenangi oleh sesama
makhluk.[6]
Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dari arah muka dan
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah SAW menjawab,
“Akhlak yang mulia”. Kemudian, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah
kiri dan bertanya, “Apakah agama itu?” beliau menjawab, “Akhlak yang
mulia”, lalu, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kanan dan bertanya,
“Apakah agama itu?” Beliau menjawab, “Akhlak yang mulia”, jawab
beliau untuk ketiga kalinya. Akhirnya, laki-laki itu mendatangi beliau dari
arah belakang dan bertanya, “Apakah agama itu?” Rasulullah SAW, menoleh
kepadanya dan bersabda, “Apakah kau tidak memahami agama?” Agama
adalah hendaknya engkau jangan suka marah”.
Oleh karena itu, akhlak dalam pandangan Islam harus berpijak
pada keimanan. Iman tidak cukup hanya disimpan dalam hati, namun harus
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik. Jadi,
iman yang sempurna itu adalah iman yang dipraktikkan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa akhlak yang baik merupakan
mata rantai dari keimanan seseorang. Sebagai contoh, seorang yang beriman akan
merasa malu untuk melakukan kejahatan. Karena seperti ditegaskan oleh Nabi
sendiri bahwa malu itu merupakan cabang dari keimanan. Sebaliknya, akhlak yang
dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun
akhlak tersebut kalau dilihat secara kasat mata kelihatan baik, jika titik
tolaknya bukan karena iman, hal itu tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah,
laksana fatamorgana di gurun pasir.[7]
Hubungan antara akidah dan akhlak ini tercermin dalam
pernyataan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh dari Abu Hurairah ra.
عَنْ
اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ:
اَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْمَانًا اَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Artinya:
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, orang mukmin yang sempurna
imannya ialah yang terbaik budi
pekertinya” (HR. At-Tirmdzi).
Al-Ghazali melukiskan betapa
pentingnya kepribadian (akhlak) bagi seorang pendidik. Seorang guru mengamalkan
ilmunya lalu perkataannya jangan membohongi perbuatannya. Karena sesungguhnya
ilmu itu dapat dilihat dengan kata hati, sedangkan perbuatan dapat dilihat
dengan mata kepala padahal yang mempunyai mata kepala adalah lebih banyak.[8][3]
Statement
Al-Ghazali tersebut dapat disimak bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan
kepribadian seoarng pendidik adalah lebih penting dari pada ilmu pengetahuan
yang dimilikinya. Kepribadian seorang pendidik baik secara sengaja maupun tidak
sengaja dan baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali sangat
menganjurkan agar seorang pendidik mampu menjalankan tindakan, perbuatan dan
kepribadian sesuai dengan ajaran dan pengetahuan yang diberikan pada anak
didiknya. Kualifikasi tugas guru dipandang sangat penting oleh sebab tugas guru
bukan saja melaksanakan pendidikan, ia juga dituntut dapat memperbaiki
pendidikan yang sudah terlanjur salah diterima anak sekaligus mengadakan
pendidikan ulang.[9]
Dalam
kontek pembelajaran pendidikan agama Islam yang selama ini kurang terkait
terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif
menjadi “makna” dan “nilai akhlak” yang perlu diinternalisasikan dalam diri
peserta didik untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi peserta didik
untuk bergerak berbuat dan berperilaku secara kongkrit agamis dalm kehidupan
praktis sehari-hari.
Konsep akhlak mencakup segala sesuatu itu dinilai baik
atau buruk, terpuji atau tercela semata-mata karena syara menilainya demikian.
Kenapa sifat sabar, jujur, syukur, pemaaf dan pemurah misalnya dinilai baik?
tidak lain karena syara menilai sifat-sifat itu baik. Begitu juga sebaliknya
kenapa pemarah, tidak bersyukur, dendam, kikir dan dusta misalnya dinilai
buruk? tidak lain karena syara menilainya demikian.
Besar harapan seseorang yang mempelajari dasar-dasar ilmu
akhlak akan menjadi baik sikapnya, seseorang menjadi anggota masyarakat yang
berarti dan berjasa. Ilmu akhlak tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik
dan berbudi luhur, namun mempelajari akhlak dapat membuka mata hati seseorang
untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Guru hendaknya memberi pengertian
apa faedahnya jika berbuat baik dan buruk, begitu pula memberi pengertian apa
faedahnya jika berbuat jahat dan apa pula bahayanya jika berbuat kejahatan.
Pembelajaran akhlak sudah seharusnya
mengandung makna tentang proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai moral
dan akhlak dalam diri siswa. Pembelajaran akhlak sekolah dapat dilakukan dengan
berbagai cara atau pendekatan baik melalui kegiatan belajar mengajar maupun
kegiatan ekstrakurikuler. Dalam proses pengembangan seseorang, individu dapat
memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai akhlak melalui usaha
internalisasi nilai-nilai yang dimiliki para pendidik. Disamping itu dapat pula
melalui peningkatan kesadaran pada akhlak pribadi itu sendiri yang akhirnya
kesadaran berakhlak dalam proses pembelajaran akan muncul pada dirinya.
D.
Kesimpulan
E.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar